Fakir Miskin dan Anak Terlantar Dipelihara Negara
Pertanyaannya: negara yang mana? Siapa negara itu?
Setiap kali berpergian, mataku tidak pernah bisa diam. Menelusuri setiap sisi jalan untuk melihat manusia, setiap hari beda manusia, beda kegiatan. Ada yang tergesa seakan dikejar waktu, ada yang duduk di bawah terik menadahkan tangan meminta dikasihani.
Jika fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara sebagaimana tertuang dalam Pasal 34 UUD 1945 ayat (1), lalu mengapa kita masih melihat bapak-bapak mendorong gerobak (yang entah apa isinya) bersama dengan seorang anak kecil di dalamnya? Sejauh mana batas negara dalam ‘memelihara’ mereka?
Pemerintah telah menetapkan wajib sekolah 12 tahun. Tapi orang-orang yang berada di bawah garis kemiskinan tidak peduli jika mereka tidak bersekolah, asalkan hari ini bisa membeli beras. Pergi bersekolah artinya tidak pergi berjualan tisu di lampu merah atau jembatan penyebrangan, tidak ada penghasilan. Jika akses ke pendidikan terputus, maka akses ke lapangan pekerjaan terputus pula, karena tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang mau atau mampu mempekerjaan SDM yang tidak mengenyam bangku sekolah.
Lahir dalam jurang kemiskinan sama sekali bukan pilihan mereka.
Apakah dana bantuan dari pemerintah cukup membantu? Sayangnya tidak. Dana bantuan yang dialokasikan agar masyarakat miskin setidaknya memiliki modal usaha, habis diraup hutang riba yang menjadi sandaran mereka saat ini. Pemerintah telat seratus, seribu, atau bahkan sejuta langkah.
Tapi setelah dipikir-pikir, jika pemerintah menambah APBN dan/atau APBD ke program yang katanya untuk membantu rakyat miskin, ini bisa menjadi celah untuk korupsi. Mereka yang memiliki kuasa ternyata hanya mementingkan perut sendiri.
Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.
Ternyata memang terdapat ambiguitas dalam Pasal 34 UUD 1945 ayat (1). Jika memelihara yang dimaksud oleh pemerintah adalah untuk mempertahankan kemelaratan, maka pemerintah telah berhasil.
Berapa banyak program pemerintah untuk menaikkan taraf hidup raktyatnya? Berapa banyak yang tepat sasaran? Bagaimana cara untuk memonitor rakyat miskin? Berapa kepala keluarga yang berhasil keluar dari jurang kemiskinan? Program yang memelihara kebergantungan masyarakat kepada pemerintah lebih digaungkan secara ugal-ugalan, dari pada program untuk membantu rakyat dengan tujuan menaikkan taraf hidup secara mandiri. Lagi, pemerintah berusaha ‘memelihara’ fakir miskin dan anak terlantar hanya demi suara lima tahun sekali.
Selain kata ‘memelihara’ yang entah ke mana arahnya, bagian dari negara yang perlu memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar pun tidak dijelaskan secara gamblang. Apabila negara yang dimaksud adalah seluruh lapisan masyarakat Indonesia, maka kita pun ikut andil dalam memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar. Tapi, apakah kita punya cukup kuasa untuk mengentaskan kemiskinan? Pada kenyataannya hanya bermodal empati tinggi tidak bisa menyengangkan perut tetangga yang sudah lima hari hanya makan nasi dan garam, itu pun jika mereka beruntung. Kuasa tertinggi tetaplah ada di tangan pemerintah yang amanah.
Masih panjang perjalanan kita dalam membantu sesama manusia untuk memiliki kehidupan dan penghidupan yang layak. Tapi setidaknya barang seribu rupiah dalam sehari yang kita salurkan melalui lembaga sosial lebih berarti dari pada tidak sama sekali, pun tidak akan membuat kita jatuh miskin.
Tengok kanan kiri kita, lalu lihat perut kita. Mungkin ini saatnya mengurangi perut buncit kita dengan berbagi. Seperti kata Audrey Hepburn: For slim figure, share your food with the hungry.